livescorepialadunia – Harapan tinggi yang melekat pada nama Ruben Amorim kini mulai berubah menjadi kecaman. Pelatih muda asal Portugal yang sempat dielu-elukan sebagai salah satu pelatih paling menjanjikan Eropa kini harus menghadapi badai kritik yang kian menggila setelah rentetan hasil buruk Manchester United. Penampilan inkonsisten, taktik yang membingungkan, dan atmosfer ruang ganti yang mulai retak membuat banyak pihak menganggap sebagai “gagal total” di Old Trafford.
Reputasi Besar, Ekspektasi Besar
Saat Ruben Amorim ditunjuk sebagai manajer Manchester United, banyak fans merasa optimistis. Ia dikenal membawa revolusi sepak bola modern di Sporting Lisbon, dengan pendekatan taktis yang progresif, pengembangan pemain muda, dan gaya bermain menyerang. Ekspektasi pun melonjak tinggi, apalagi setelah rumor kedekatan Amorim dengan beberapa pemain bintang top Eropa mencuat.
Namun, kenyataan di Premier League tak semudah Liga Portugal. Tantangan di Inggris lebih besar, tekanan lebih tinggi, dan ekspektasi fans jauh lebih kejam.
Performa di Lapangan: Tidak Konsisten, Tidak Meyakinkan
Sejak awal musim, performa Manchester United di bawah Amorim bak rollercoaster. Mereka bisa menang telak atas tim papan bawah, namun tumbang menyakitkan saat melawan rival besar. Bahkan ketika menang, performanya sering tak meyakinkan.
Statistik Mengecewakan
- Rata-rata penguasaan bola: 49% — turun drastis dari era Ten Hag yang mengedepankan penguasaan
- Tembakan per pertandingan: 8,2 — terendah di antara tim ‘Big Six’
- Jumlah kebobolan: 34 gol dalam 18 laga
- Jumlah clean sheet: hanya 3 sejak Amorim memimpin
Statistik tersebut membuktikan bahwa MU tidak hanya tumpul di depan, tapi juga rapuh di belakang. Amorim tampaknya belum menemukan formula pas untuk menyeimbangkan pertahanan dan serangan.
Kekacauan Taktikal: Identitas yang Hilang
Salah satu kritikan utama terhadap Amorim adalah hilangnya identitas bermain. Tidak jelas apakah MU ingin bermain bertahan dan mengandalkan counter attack, atau mendominasi bola seperti era sebelumnya. Sering kali, transisi antarlini terlihat kacau.
Skema 3 Bek yang Gagal
Amorim datang dengan filosofi 3-4-3 yang ia terapkan sukses di Sporting. Tapi di MU, formasi ini malah jadi bumerang. Banyak bek MU terlihat bingung dengan peran barunya, terutama saat transisi bertahan. Luke Shaw, yang biasanya agresif naik, malah jadi celah di sisi kiri. Sementara Lisandro Martinez yang cedera, membuat jantung pertahanan tak stabil.
Pemain Tak Paham Peran
Tanda kegagalan sistem terlihat jelas dari bagaimana para pemain tampil tanpa koordinasi. Bruno Fernandes sering terlihat frustrasi, Casemiro kelelahan menutup ruang, dan striker baru seperti Højlund tampak kesepian di depan. Kombinasi yang semestinya jadi kekuatan malah terlihat sebagai kelemahan.
Baca Juga:
- Manchester United dan Final yang Mengiris Hati: Antiklimaks di Balik Dominasi
- Siapa Saja 3 Pemain Barcelona yang Menuju Pintu Keluar?
Komentar Pedas dari Legenda dan Media
Ketika performa buruk menjadi konsisten, kritik pun datang dari berbagai arah.
- Gary Neville, legenda MU yang kini jadi pundit, menyebut:
“Apa yang dilakukan Amorim? Saya tak melihat arah permainan, taktik, atau rencana cadangan. Ini bukan MU yang kita kenal.”
- Roy Keane bahkan lebih tajam:
“Performa ini memalukan. Para pemain terlihat seperti belum pernah latihan bersama.”
Media Inggris pun ikut bersuara. Daily Mail menulis, “Amorim’s revolution is sinking before it even sailed,” sementara The Guardian menyebut MU era Amorim sebagai “tim besar dengan mental kecil.”
Suasana Ruang Ganti yang Mulai Panas
Kabar terbaru dari internal menyebutkan bahwa ada ketegangan antara Amorim dengan beberapa pemain senior. Beberapa tidak menyukai metode latihannya yang terlalu kaku dan menuntut.
Bruno Fernandes kabarnya sempat mengajukan diskusi tertutup karena merasa tak diberi kebebasan berkreasi. Casemiro disebut kecewa karena tak ada proteksi dari rekan-rekan di lini tengah.
Amorim sendiri membantah adanya konflik, namun senyumnya yang dulu selalu terlihat kini mulai menghilang dalam sesi jumpa pers. Ia pun mulai menunjukkan sikap defensif saat ditanya soal performa tim.
Suporter Mulai Kehilangan Kesabaran
Salah satu faktor tekanan terbesar di MU adalah fanbase global yang kritis dan berisik. Di media sosial, tagar #AmorimOut mulai bermunculan. Beberapa fans bahkan membentangkan spanduk bertuliskan “Bring Back Discipline, Bring Back United” saat laga kandang terakhir.
Fans merasa Amorim belum memahami kultur klub, dan lebih sibuk menerapkan pendekatan yang terlalu “eksperimental” ketimbang menyatukan tim.
Apakah Amorim Masih Punya Waktu?
Satu pertanyaan besar: apakah Amorim akan diberi waktu untuk memperbaiki keadaan?
Secara historis, manajer MU memang diberi waktu (lihat Solskjær atau Ten Hag), tapi jika performa tetap menurun, tak menutup kemungkinan manajemen bertindak cepat. Terlebih jika MU gagal masuk 4 besar dan tersingkir lebih awal di kompetisi Eropa.
Apalagi nama-nama seperti Roberto De Zerbi, Zinedine Zidane, dan bahkan Thomas Tuchel mulai dikaitkan sebagai kandidat pengganti.
Sisi Positif yang Masih Bisa Digali
Meski diterpa badai kritik, ada beberapa sisi positif kecil yang bisa jadi pondasi:
- Rasmus Højlund menunjukkan potensi besar, meski belum konsisten
- Pellistri dan Garnacho mendapat menit bermain lebih banyak
- Amorim berani merotasi dan mencoba pemain muda dari akademi
Sayangnya, semua itu belum cukup untuk menutupi kekacauan taktik dan hasil buruk yang terus menghantui.
Jalan Terjal di Teater Impian
Membawa pelatih muda visioner seperti Ruben Amorim semestinya jadi langkah ke depan. Namun hingga kini, semua justru berbalik jadi mimpi buruk. Manchester United tampak kehilangan arah, dengan performa di lapangan yang memalukan dan ruang ganti yang mulai tak harmonis.
Jika Amorim ingin menyelamatkan jabatannya dan membalikkan opini publik, ia harus segera menemukan identitas permainan MU—dan yang lebih penting, mulai meraih kemenangan secara konsisten. Jika tidak, proyek Amorim bisa jadi hanya akan menambah daftar panjang eksperimen gagal pasca era Sir Alex Ferguson.